Solidaritas Feminis untuk Pembebasan Palestina

“Women always have roles in Palestinian society. I’m not saying there is no patriarcal society, but women movements always say: fight for the liberation is also fight to dismantle patriarchy, no free Palestine without freedom for the queer people.” (Olive, Palestinian Feminist)

“Perempuan selalu punya peran dalam masyarakat Palestina. Aku tidak mengatakan bahwa tidak ada tatanan sosial yang patriarkis (di Palestina), tetapi gerakan perempuan selalu mengatakan: perjuangan untuk pembebasan adalah juga perjuangan untuk menghancurkan patriarki, tidak ada kebebasan di Palestina tanpa kebebasan bagi kelompok queer.” (Olive, feminis Palestina) 

Selasa, 14 November lalu, Purplecode Collective menyelenggarakan sebuah diskusi bertajuk “Palestine Liberation Struggle is a Feminist Agenda”. Diskusi yang diselenggarakan secara hybrid ini mengundang Olive, seorang feminis dari West Bank, Palestina, sebagai narasumber. Dari diskusi yang dipandu Astrid Reza dari Ruang Arsip dan Sejarah Perempuan (RUAS) ini, banyak informasi dan pembelajaran menarik yang didapatkan. Sejak awal, Olive menekankan pentingnya memahami sejarah sehingga kita dapat melihat akar persoalan dari peristiwa yang terjadi di Gaza saat ini. Selain itu, Olive juga berbagi mengenai perlawanan perempuan dan perjuangan gerakan feminis yang sejak lama memiliki peran dalam perjuangan pembebasan Palestina.

Berikut kami rangkum perbincangan menarik dari diskusi tersebut:

1. Konteks Sejarah Pendudukan Palestina
Olive menyampaikan pentingnya memahami konteks konflik dari sejarah. Ia mengajak mundur ke masa ketika wilayah Palestina dikolonisasi Inggris. Di masa itu, Inggris dinilai telah membuka ruang bagi kemungkinan untuk pendirian Israel. Gerakan zionisme kian gencar mendesak realisasi mandat pendirian Israel setelah terjadinya genosida terhadap orang Yahudi oleh gerakan Nazi Jerman, dan pendirian Israel di tanah Palestina menjadi kenyataan meskipun tanah itu sudah didiami penduduk secara turun temurun. Ada penegasan dari Olive bahwa yang terjadi hari ini di Gaza bukanlah perang agama, walau ia sadar narasi itu tetap ada, termasuk di Indonesia. Bagi Olive, konflik ini adalah tentang kolonialisme pemukim yang ingin melenyapkan penduduk asli, tentang pendudukan suatu wilayah secara paksa, juga tentang kekuatan militer serta surveillance terkuat di dunia dengan dukungan Amerika Serikat dan negara-negara Eropa yang berhadapan dengan kelompok warga lokal dengan persenjataan seadanya. Oleh karena itu, perjuangan pembebasan Palestina adalah tentang gerakan antikolonialisme.

2. Konteks Gerakan Perempuan di Palestina
Genosida yang terjadi di Gaza tidak hanya menyebabkan korban jiwa tetapi juga berdampak ke berbagai aspek kehidupan rakyat Palestina, tidak terkecuali perempuan dan kelompok gender yang termarjinalkan. Sebagai gambaran, ada  lebih dari 5.000 perempuan yang selama konflik ini tengah hamil di Gaza. Serangan Israel menyebabkan tidak ada bahan bakar, makanan, dan obat-obatan yang sangat dibutuhkan selama hamil hingga melahirkan.

Di sisi lain, secara historis, perempuan memainkan peran utama dalam perlawanan bersenjata maupun non-kekerasan. Ini terjadi bahkan sebelum tahun 1948 ketika perempuan berperang melawan tentara kekuatan kolonial Inggris. Perempuan dalam banyak kasus harus ikut berperang bersama laki-laki. Saat intifada pertama, sebagian besar laki-laki berperang dengan menggunakan batu. Perempuan berada di garis depan mengumpulkan batu bersama laki-laki. Tidak hanya itu, mereka juga membangun komite tetangga, menyediakan makanan, dan menyelenggarakan pendidikan untuk anak-anak. Saat ini, perempuan juga sedang membentuk komite khusus, yaitu Komite Perempuan. Mereka mulai memainkan gerakan politik, memobilisasi perempuan, hingga menyuarakan kesetaraan.

Selama dua dekade terakhir juga dapat dilihat bagaimana perempuan keluar setiap akhir pekan untuk melakukan protes. Salah satunya adalah Ahed Tamimi yang saat ini ditangkap. Mereka melakukan protes tanpa kekerasan untuk menentang pembangunan pemukiman dan perampasan tanah. Gerakan perempuan di dalam aksi-aksi mereka selalu menyerukan: “Perjuangan untuk pembebasan juga merupakan perjuangan untuk menghapuskan patriarki” atau juga “Tidak ada kebebasan tanpa kebebasan bagi kelompok queer”. Selain itu, ada banyak gerakan queer dari warga Palestina di West Bank dan mereka terhubung dengan perjuangan pembebasan Palestina.

Meski demikian, Olive juga menyampaikan sikap kritis terhadap perspektif feminisme barat/kulit putih yang salah satunya disebarkan melalui proyek NGOisasi isu perempuan. Menurut Olive, negara-negara Eropa dan Amerika Serikat merasa perlu mengekspor feminismenya ke negara-negara Arab, dengan memandang negara-negara Arab sebagai negara yang patriarkis. Pada faktanya, gerakan feminis sudah lama eksis tidak hanya di Palestina tapi juga di negara-negara Arab sebelum NGOisasi isu perempuan itu hadir. Pada saat yang sama, hingga saat inipun Jerman maupun negara-negara Eropa lainnya serta Amerika Serikat juga masih memiliki berbagai persoalan terkait ketidaksetaraan.

3. Konteks Narasi dan Teknologi
Menurut Olive, yang saat ini juga terjadi adalah perang narasi dan diskursus. Rakyat Palestina telah diperlakukan tidak manusiawi oleh media barat, khususnya di Eropa. Media-media tersebut terus mengulang-ulang narasi bahwa Hamas menguasai banyak kementerian, dan aksinya telah menyebabkan banyak orang meninggal dunia. Oleh karena itu, para aktivis Palestina memikirkan tentang bagaimana rakyat Palestina tetap dapat menggunakan teknologi untuk melawan narasi tersebut. Gerakan Feminis selama ini menggunakan teknologi dengan berbagai kreasi untuk memperkuat suara Palestina, khususnya di Gaza. Tujuannya adalah untuk menekan platform, memperkuat suara, serta menciptakan infrastruktur alternatif yang tidak mendiskriminasi warga Palestina.

Selain soal bias media barat, Olive juga menyebut soal bagaimana platform besar seperti Meta menormalisasi rasisme anti-Palestina. Bahkan di X sekalipun, tetap ada bias. Jadi memilih sumber informasi yang kredibel memang menjadi isu penting karena ada banyak informasi tidak akurat yang menyebar.

Dalam konteks ini, ada sejumlah akun instagram perempuan pemberani di Gaza yang memberikan update situasi sehari-hari di sana. Kita di Indonesia yang mendukung Palestina dapat mengikuti akun-akun itu dan menyebarkan informasi di dalamnya. Kita juga bisa melaporkan ke platform jika ada ujaran kebencian terhadap warga Palestina. Kita perlu mengamplifikasi dan memperkuat suara Palestina, karena ini juga merupakan pertarungan narasi dan diskursus.

4. Bagaimana Kita Bersolidaritas.
Di situasi sekarang, Olive melihat gerakan aksi solidaritas itu sangat berarti. Berbagai aksi demonstrasi di banyak negara membuatnya merasa tidak sendiri. Gerakan mendesak negara-negara barat untuk menghentikan dukungannya terhadap Israel itu tetap penting. Hal lain yang bisa dilakukan saat ini adalah mengamplifikasi suara dan cerita dari Palestina dengan memproduksi pengetahuan dan informasi yang kredibel menggunakan bahasa kita sendiri. Olive juga menyoroti mengenai pentingnya produksi pengetahuan. Menurutnya, ada banyak perlawanan nyata yang bisa kita pelajari satu sama lain. Banyak kesamaan antara gerakan rakyat dari global selatan (south to south), yang bisa belajar satu sama lain, tentang isu perempuan, maupun non-conforming gender.

“Our fight are similar, we are fighting againts patriarchy, fighting againts colionialism, our battle is similar, lets having connection.” – Olive

“Perjuangan kita itu serupa, kita melawan patriarki, melawan kolonialisme, pertempuran kita sama, mari saling terhubung.” – Olive

Bersepakat dengan Olive, Astrid Reza selaku moderator diskusi ini menyampaikan soal pentingnya bagi kita di Indonesia untuk pelan-pelan mengubah narasi konflik agama menjadi gerakan antikolonial. Dalam sejarahnya, Indonesia sejak awal mengakui adanya negara Palestina, dan itu tidak lepas dari semangat antikolonialisme termasuk yang digagas di dalam Konferensi Asia Afrika 1955.

5. Referensi Lebih Lanjut:
Di dalam diskusi tersebut, Olive juga memberikan beberapa tautan media dan akun media sosial yang dapat diikuti untuk mendapatkan perkembangan situasi Palestina yang akurat. Purplecode Collective juga menambahkan beberapa sumber yang dapat diikuti untuk teman-teman di dalam daftar berikut ini:

https://www.youtube.com/shorts/W5hBL94EFMQ
https://www.youtube.com/watch?v=pJ9PKQbkJv8&ab_channel=LastWeekTonight
https://www.mei.edu/publications/how-metas-platforms-normalize-anti-palestinian-racism
https://www.instagram.com/wizard_bisan1/
https://palcircus.ps/en/
https://www.ashtar-theatre.org/
https://www.palestinefilminstitute.org/
https://www.instagram.com/whrdmena/?img_index=2
https://www.instagram.com/unrwa/
https://www.instagram.com/queersinpalestine/
https://www.instagram.com/visualizing_palestine/