Gender Disinformasi dan Langgengnya KBGO

Scrolling konten di media sosial seperti sudah jadi bagian keseharian. Kadang rasanya ada yang kurang kalau tidak menengok media sosial sekali saja dalam sehari. Kabar satu lingkar pertemanan  saja seringnya diketahui dari konten yang dibagikan di akunnya. Kalau lagi gabut, scrolling media sosial jadi kegiatan yang membantu menghabiskan waktu. Instagram, Tik Tok, Facebook, Twitter bergantian dibuka dan ditelusuri. Sejumlah konten dari berbagai akun banjir menghampiri silih berganti. Beberapa membuka pengetahuan baru, lainnya mengajak tersenyum atau tertawa, sisanya, tidak sedikit juga yang memancing emosi dan amarah. Bukan hanya terkait pada substansi konten yang bersangkutan, melainkan juga respons pengguna lain terhadap konten di kolom komentar.

            Sedikit penasaran dengan seberapa toxic kolom komentar di media sosial, saya berkesempatan untuk ikut melakukan pemantauan KBGO (Kekerasan Berbasis Gender Online) di media sosial bersama PurpleCode. kegiatan ini dilakukan secara manual dengan menelusuri lini masa dan feed di empat media sosial yakni, Facebook, Tik Tok, Instagram, dan Twitter/X setiap harinya. Di bulan pertama pemantauan, ada beberapa temuan awal yang ingin saya bagikan.

            Sexual objectification menjadi narasi utama yang paling banyak ditemukan saat pemantauan konten KBGO di media sosial. Narasi utama  adalah narasi dominan yang membentuk persepsi dan identitas kolektif masyarakat (seringkali diterima secara luas dan terinternalisasi) yang terdapat dalam konten tersebut. Dari 57 konten yang ditemukan dalam kurun waktu satu bulan, sebanyak 22 konten KBGO memiliki narasi utama objektifikasi seksual dengan 21 konten ditujukan kepada perempuan. Kerangka naratifnya sendiri mengarah pada dehumanisasi, normalisasi kekerasan, dan menyalahkan korban. Pelakunya bisa laki-laki tapi tidak sedikit juga  perempuan. Sebagian besar anonim karena platform memiliki kebijakan bagi semua pengguna media sosial untuk menyamarkan identitas pribadinya. Pelecehan seksual adalah bentuk yang umum. Mengomentari area tubuh yang sensitif, melabeli dengan sebutan lonte, sampai mengungkapkan ajakan mesum. Korbannya bisa siapa saja, artis, perempuan secara umum, bahkan anak kecil. Temuan KBGO ini pun hampir merata di semua platform media sosial besar seperti Instagram, Tik Tok, Facebook, dan Twitter.

            Perempuan sebagai target adalah narasi utama berikutnya, tampak dari 14 kasus dengan kerangka naratif menyalahkan perempuan dalam terjadinya KBGO. Meminta perempuan introspeksi, menyalahkan pakaian, perempuan seharusnya bisa menjaga diri adalah pola komentar yang masih umum terjadi pada konten terkait peristiwa KBGO. Pada peristiwa perselingkuhan, yang menjadi sorotan pun masih perempuan, bukan pada pihak yang telah memiliki komitmen dengan orang lain sebelum berselingkuh, atau bahkan bukan keduanya. Bahkan KBGO dengan narasi utama korban memancing serangan juga jumlahnya cukup banyak, yakni 9 kasus dan terutama kasus pemerkosaan, stalking, dan cyberbullying. Berikut komentar atau respons yang lazim terlihat.

~Masalahnya dalam bergaul dg byk org, kl kita bisa membatasi diri , sy rasa semua ini gak bakalan terjadi , ya kuncinya emang dr diri kita sendiri 😁

~Di situlah kalian berpikir jaga auratnya kaum wanita

~Makanya jangan tabarruj di sosmed. Wanita itu fitnah bagi laki laki-laki. Wanita pamer kecantikan di sosmed di lihat oleh banyak kaum laki-laki bukan mahram maka akan menimbulkan fitnah dan pikiran kotor bagi laki-laki. Maka dari wanita di larang tabarruj pamer kecantikan di sosmed. Seburuk buruk wanita, wanita yang tidak punya rasa malu.

Stereotip dan Disinformasi Gender

Salah satu hal yang cukup menarik perhatian saya adalah bagaimana stereotip dan disinformasi genderriuh di media sosial. Dalam tag gender disinformasi ditemukan sedikitnya dua konten yang mempersepsikan LGBT sebagai penyakit dan LGBT adalah penyebab menyebarluasnya penyakit seperti HIV di Indonesia. Disinformasi terkait LGBT ini cenderung menggunakan tagar yang sama yakni #TolakLGBT. Hal yang cukup intens juga adalah komentar-komentar di media sosial yang berbicara mengenai stereotip gender dimana perempuan dilabeli dengan perilaku stereotip tertentu hingga ditempatkan di ruang domestik. Misalnya saja pada unggahan sebuah akun yang berbagi cerita perempuan yang sukses menempuh pendidikan tinggi atau mencapai tingkatan karir tertentu. Komentar-komentar berikut mudah ditemukan.

~Not to be judgy, tapi karir dan pendidikan bisa dikejar kapan saja sesudah menikah kalo suaminya emang supportif. However, your child only has one childhood you miss it now, you’ll miss it forever, there’s no way catching up.

~Apa sih gunanya sekolah tinggi-tinggi kalo kita udah kerja dan berkeluarga.

~Wish more women would prioritize family first then career.

Dalam studinya Nina Jankowicz dari Wilson Center mengungkapkan jika disinformasi berbasis gender dan seksual adalah fenomena yang dapat didefinisikan sebagai “bagian dari pelecehan berbasis gender secara online yang menggunakan narasi berbasis gender dan jenis kelamin yang salah atau menyesatkan terhadap perempuan, sering kali dengan tingkat koordinasi tertentu, yang bertujuan untuk menghalangi perempuan untuk berpartisipasi di ruang publik. Hal ini menggabungkan tiga karakteristik utama dari disinformasi online: kepalsuan, niat memfitnah, dan koordinasi.” (Jankowicz et al. 2021)

            Disinformasi berbasis gender juga digambarkan oleh Lucina Di Meco sebagai penyebaran informasi baik berupa teks maupun gambar yang menipu atau tidak akurat terhadap para pemimpin politik, jurnalis, dan tokoh masyarakat perempuan dengan cara yang mengacu pada kebencian terhadap perempuan dan stereotip masyarakat (The EU DisinfoLab 2021).

            Penyebaran informasi yang memperkuat atau memperpanjang stereotip gender negatif dapat menciptakan lingkungan yang mendukung kekerasan berbasis gender. Begitu juga dengan menyebarkan narasi objektifikasi seksual individu atau kelompok tertentu, membagikan pandangan sempit dan merugikan tentang maskulinitas dan femininitas seseorang, serta serangan terhadap komunitas tertentu dengan niat negatif.

            Tahun 2023 segera berakhir, tetapi komentar berdasar stereotipe seperti ini masih terus hidup. Permasalahan yang bikin resah adalah bahwa stereotip gender yang salah merupakan penyebab diskriminasi terhadap perempuan dan menjadi faktor yang berkontribusi terhadap pelanggaran beragam hak perempuan, seperti hak atas standar hidup yang layak, pendidikan, hingga terbebas dari kekerasan berbasis gender.

            Dalam perlindungan hukum misalnya, penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilakukan oleh aparat hukum masih sering mengandung bias gender yang bersumber dari stereotip dan mitos yang ada di masyarakat sehingga belum mencerminkan keberpihakan terhadap perempuan korban kekerasan (Maryam et al. 2017). Dalam pemberitaan, sejumlah kasus seringkali diiringi dengan narasi yang menyalahkan korban. Bagaimana korban berpakaian dan berperilaku menjadi sorotan dan dinormalisasi sebagai alasan terjadinya kekerasan. Dalam pemantauan, masih terlihat bagaimana komentar-komentar victim blaming ini masih marak terjadi dalam kasus KBGO. Fenomena victim blaming ini memberikan dampak psikologis yang besar bagi korban. Korban dapat merasa malu dan menganggap kekerasan yang dimilikinya adalah aib. Hal ini makin menyulitkan korban untuk berbicara dan melapor. Korban pun berisiko tinggi mengalami trauma, hilang kepercayaan diri, depresi, bahkan bukan tidak mungkin memiliki keinginan untuk mengakhiri hidupnya (Nurbayani and Wahyuni 2023).

            Bagi kelompok minoritas dan rentan seperti teman-teman LGBT, bahkan menurut catatan Komnas HAM, pelanggaran HAM terhadap kelompok LGBT dapat terjadi berlapis-lapis. Dalam hal karier, pekerja gay, mudah menjadi sasaran pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak, hak kebebasan berpendapat dan berserikat, hingga kebutuhan layanan kesehatan, pendidikan, dan partisipasi publik pun sulit diperoleh (Ady 2016).

            Gender disinformasi di ranah online memiliki dampak yang tidak kecil terhadap terjadinya KBGO. Di sisi lain KBGO sendiri memiliki kontribusi terhadap budaya seksisme dan misoginis online. Misogini siber yang merupakan elemen disinformasi berbasis gender memiliki tujuan mengingatkan perempuan bahwa mereka pada dasarnya rentan, terlebih hal ini juga berjalan seiring langgengnya stereotip gender, sehingga semakin menyulitkan menghapus konstruksi sosial yang seksis. Lebih jauh akibatnya adalah merugikan perempuan karena ruang gerak perempuan di ranah online menjadi terbatas karena rasa tidak aman, hal ini berujung pada terbatasnya kesempatan mendapat manfaat dari peluang yang datang secara online seperti yang didapat oleh laki-laki, seperti promosi dan pekerjaan (Kusuma and Arum 2019).

            Menyikapi KBGO, sebagai pengguna media sosial kita sepertinya harus mulai aktif memanfaatkan fitur report yang tersedia di platform media sosial terkait. Kapanpun melihat konten dan komentar yang abusive laporkan saja, sehingga baik platform maupun penggunanya dapat bekerja sama menciptakan ruang yang aman bagi perempuan di media sosial. Tidak ada ruang bagi pelaku kekerasan berbasis gender di mana pun juga.

Referensi:

Ady. 2016. “Ini Catatan Komnas HAM Terhadap Pemenuhan Hak Kelompok Minoritas.” Hukumonline.Com.

Jankowicz, Nina, Jillian Hunchak, Alexandra Pavliuc, Celia Davies, Shannon Pierson, and Zoë Kaufmann. 2021. Malign Creativity: How Gender, Sex, and Lies Are Weaponized against Women Online. Woodrow Wilson International Center for Scholars.

Kusuma, Ellen, and Nenden Sekar Arum. 2019. “Memahami Dan Menyikapi Kekerasan Berbasis Gender Online.” Panduan Materi, SAFEnet.

Maryam, Rini. 2017. “Stereotipe Dan Mitos Dalam Penanganan Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan.” Jurnal Legislasi Indonesia 14 (4): 383–94.

Nurbayani, Siti, and Sri Wahyuni. 2023. Victim Blaming in Rape Culture: Narasi Pemakluman Kekerasan Seksual di Lingkungan Kampus. UNISMA PRESS.

The EU DisinfoLab. 2021. “Gender-Based Disinformation: Advancing Our Understanding and Response.”